"Negeri Bongkahan Hitam di Ujung kumis Lele
Oleh : Sandaria (SMAN 4 Sarolangun)
Di
pohon manggis yang bercabang-, disalah satu cabangnya bertingirlah dua pemuda
‘Koik dan Timik dengan tangan kanan menongkatkan dagu .Angin bertiup menggoyangkan
cabang-cabang pohon manggis terdengar jerit menderit tak terima dengan perilaku
angin yang setiap detik menganggu melulu. Timik merenungkan negeri yang penuh
bongkahan hitam hingga terloncar kata-kata dari mulutnya . “Negeri kita ini
sangat kaya tapi masyarakatnya sengsara.”Sambil merenung dahinya berkerut bak
jeruk purut, jelas wajahnya penuh tanda tanya yang belum ada jawab. Timikpun berkata “Tidak hanya
kaya tapi juga berharga, sanking berharganya bongkahan hitampun bernilai .”Jawab Timik, sambil menyerongkan badannya
kearah Koik. Koik menganggukkan kepala hingga pohon mangispun
ikut bergoyang curiga.
Timik
kembali berkata “Sungguh aneh tapi nyata, masyarakat negeri kita menyimpan
bongkahan hitam ,namun kita hanya
melihat saja dengan mata sayu tak berdaya dan tak punya upaya.”
Bongkahan
hitam itu tersimpan dalam tanah, sungai, dan di mana-mana di
negeri ini. Awalnya membawa aroma menyejukkan
hati lalu terang benderang. Tapi saat ini, yang terbit hanyalah hitamnya tiada
lagi bongkahannya. Lalu Koik bertanya kepada Timik dengan mata melotot dan wajah
agak dimajukan ke depan. “Bagaimana sih
cara mendapatkan bongkahan hitam itu?” Timik menatap Koik dengan tatapan
serius. Inilah jawabnya dengan suasana tegang, terdengarlah suara yang ‘berdesis’ karena terhimpit, lalu Timikpun
bergeser dari tempat tingkirnya, sambil mengeluarkan gas beracun yang membuat
hidung kembang kempis. Barulah suara itu menggelegarkan cabang yang tertidur
pulas dari tadi kerena bosan mendengarkan pembicaraan mereka.
Koik bertanya dengan
ekspresi masam. “Apaan tuhhh…kamu buang gasssnya?” Timik menyawab dengan santai.”Maaf Ik, tapi itulah jawabannya!!
Koik
kembali bertanya sambil menutup kedua lubang hidungnya. “Maksudnya?”
Timik
menjelaskan, pertama secara pelan-pelan, Sharul Khankah dan Mister Broom
mencari tahu dulu negeri mana saja yang terdapat bongkahan hitam. Setelah
mereka tahu negeri mana saja yang tanahnya
terdapat bongkahan hitam, lalu masyarakatnya dirayu agar tanahnya bisa
mereka miliki dengan tawaran harga nego, tentu saja ada andil penguasa yang
dikepalanya telah penuh hitungan untung rugi bagi diri pribadi agar kaya, namun
kenyataannya tak kaya-kaya juga karena tak ada keberkahannya, bakal
menyensarakan anak cucu dikemudian hari kelak dan dikutuk para lelehur yang
rohnya bergelayutan di pohon-pohon manggis tua karena memendam amarah yang
sangat dasyattt.
Hampir
semua masyarakat yang punya bongkahan hitam itu menjual tanahnya tergiur dengan
lembaran-lembaran merah dan biru yang menari-nari di mata mereka, air liur
masyarakat mengalir tak terbendung lagi.
Negeri bongkahan hitampun berhasil dipeluk Sharul Khankah dan Mister Broom
Koik
bertanya lagi dengan bola mata yang hampir brojol kesal.”Setelah dipeluknya
apakah diciumnya juga?” Temik menjawab dengan serius. “Ia!!!” Koik menangis
pilu sambil berdendang ‘hancur-hancur negerikuuu’ sakitnya tuuu disiniiiii
sambil mengeleng-gelengkan kepalanya yang bulunya setengah rontok bukan dikarenakan
banyak mikir tetapi karena jarang dipakai untuk mikir.
Timik
kembali menjelaskan.”Untuk menciumnya, mereka harus mengambilnya di dasar tanah
maupun disungai, oleh karena itu, mereka menawar lagi masyarakat untuk bekerja
dengan gaji yang cukup lumayan. Masyarakat tentu mau, mereka menyambut dengan gembira.
Seiring
waktu yang tak terasa, kawasan itu mengalami kebrojolan tanah…kelimpahan banjir.
Kabut hitam mulai menyelimuti negeri.
Dengan
suara lirih pedih, Timik berkata.”Negeri kita sudah tidak perawan lagi karena
sudah keseringan brojol”. Timik menempelkan tangannya kepundak Koik.”Kau
mengerti tidak Ik?”
Koik
mengelengkan kepala karena bingung, lalu ia berkata.”Bongkahan hitam itu apa
ya?”Timik menjawab dengan menyeringai kesal.”Jadi dari tadi aku menjelaskan
kepadamu, kau tak mengerti!!! Ya ampun!!! BATU BARA tauuuuuu!!!!”
Koik
menjawab.”Oooo…….Mengerti….. Kini bahkan teramat sangat mengerti, sampai-sampai
menyesakkan seluruh jiwa. “Timik menambahkan,” Kita harus berguna sebagai bekal
masa depan bangsa. Supaya negeri ini tidak
makan kumis lele tetapi makan daging lele. Masyarakatnya pintar tidak
sengsara.” “Caranya?” Kata Koik dengan ekspresi blooooon. “Ya belajar dengan
sungguh-sungguh dan banyak membaca buku tauuuuuu!!!!” Kata Timik kesal untuk
yang sekian kalinya. “Ya, seperti sanak saudaraku, si Milun kuliah dibidang
hukum, si Bitun kuliah mengambil jurusan ekonomi, dan si Dihun kuliah
diuniversitas ternama di Indonesia.” Jawab Koik dengan bangganya.
“Ia
sih, bobot bebet kau tu Ik pintar-pintar, tetapi mengapa ya? Kau tu Ik pakek
banget lagi!” Jawab Timik dengan ekspresi heran campur kesal.
Kesal
Timik belum habis, Koik mencolek tangan Timik. Timik bertanya dengan detak
jantung berdebar seperti organ tunggal. “Koikku ganteng!!” Dengan geram “Ada
apa lagi?” “Yang dimaksud kumis lele tadi itu apa ya?” Tanya Koik. Timik menjelaskan
dengan muka malas. “Kau pernah tidak melihat ibu-ibu memotong ikan lele?” “Ya
pernah la…!!” Jawab Koik dengan nyolot. “Pasti kumisnya dibuang?” Tanya Timik
lagi. “Ia, ialah kan tidak enak.” Jawab Koik
dengan tegas. Timik pun berkata “Itulah yang dialami negeri kita saat
ini, yang enak diambil orang, yang tidak enak dibuang orang!!” “Sadis….Ya?”
Tanya Koik. “Ya,, sesadis mulutmu dan pikiranmu yang lambat mengerti!” Jawab
Timik. Timik pun melihat mata Koik sambil bertanya. “Apakah masih ada yang
tidak kau mengerti?” Koik menjawab dengan kepastian. “Kini sangat mengerti,
sampai-sampai menyesakkan hati.” Timik berkata dengan suara bergumam hampir tak
terdengar. “Inilah contoh dari manusia yang negerinya tertindas.” “Apa katamu?”
Tanya Koik “Tidak ada apa-apa.” Jawab Timik dengan santai.
Kedua
pemuda itu meninggalkan tempat tingkirnya. Pohon manggis tersenyum lega karena
ia bisa melanjutkan tidurnya yang tertunda.
GLOSARIUM
Tinggir ; mahluk hidup yang duduk di atas
pohon
Terloncar ; sesuatu perkataan yang keluar
tiba-tiba dari mulut
Begok ; bodoh
Nyolot ; ekspresi marah
Pakek ; makin menjadi